Hukum yang Kriminogen : Kritik Sistem Legislasi
Oleh : Ilham Yuli Isdiyanto

Tulisan ini bukan secara khusus tentang Omnibuslaw UU Cipta Kerja namun lebih dalam lagi tentang bagaimana seharusnya memandang dan mengembangkan hukum dalam pandangan yang paling normatif.
Almarhum Satjipto Raharjo sudah lantang menyuarakan bahwa banyak hukum di Indonesia yang bersifat kriminogen, artinya alih-alih mengemban amanah untuk mewujudkan masyarakat yang tertib, adil, dan sejahtera tetapi hukum malah membuka peluang-peluang untuk melakukan ‘kejahatan’ atau tindakan kriminal secara ‘legal’. Pandangan ini tentu bisa kita maklumi dengan pendekatan normatif yang didasarkan pada nilai, etika dan moral.
Mulai dari persoalan hulu, yakni bagaimana seharusnya hukum atau regulasi diproduksi? Pernah saya memperagakan di depan mahasiswa, dengan mengambil sebuah smartphone saya bertanya; Antara smartphone dengan ilmu membuat smartphone, lebih dahulu yang mana? Semuanya jelas setuju dalam pembuatan smartphone perlu adanya ilmu smartphone terlebih dahulu. Hal yang sama, dalam membuat hukum, perlu ada ilmu hukum terlebih dahulu. Ilmu Hukum ini tidak berhenti di ruang-ruang kelas mahasiswa hukum, melainkan harus masuk ke ruang-ruang legislator, sehingga tidak terjadi malpraktek dengan analogi bahwa ada seorang anak yang tidak tahu menahu ilmu tentang membuat smartphone kemudian mencoba meyakinkan orang lain dia akan membuatnya.
Pandangan tentang politik mempengaruhi hukum merupakan pandangan yang berbahaya jika tidak dipahami dengan konsep dasar keilmuan yang mumpuni. Pendapat ini politik mempengaruhi hukum tidaklah salah, namun pendapat ini tidak bisa diterima karena bertentangan dengan kacamata normatif . Orang hukum seyogyanya berpandangan normatif bukan berpandangan politis karena dapat merusak tatanan hukum sebatas pada kepentingan dan konfigurasi politik. Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 dengan jelas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), artinya secara konstitusi kita menolak paham negara kekuasaan (machstaat). Mengacu pada dasar konstitusi ini, pandangan yang melegitimasi hukum adalah produk politik harus ditingalkan oleh ahli hukum, melainkan hukum adalah produk dari refleksi filosofis, sosiologis dan yuridis yang memunculkan konstruksi nilai, asas dan norma. Untuk dapat mencapai ini, pembuat hukum harusnya seorang ahli hukum (intelektual) sekaligus moralis. Walaupun dalam konteks mencapai aspek filosofis, sosiologis dan yuridis sekalipun tidak bisa lepas dari bias-bias politik, namun hal ini harus dihindari karena nantinya yang paling ditakutkan adalah politik menjadi panglima.
Hans Kelsen dahulu menolak pernyataan bahwa moral mempengaruhi hukum, karena moralitas yang subjektif akan mempengaruhi kepastian penegakan hukum. Seperti kata Scholten, masyarakat tidak menyukai ketidakpastian. Ketidakpastian akan membuat orang tidak percaya pada hukum dan menurunkan legitimasi atas hukum secara sosiologis. Namun, sebagai gantinya, hukum harus dibuat oleh moralis sehingga hukum memiliki kandungan moralitas dan menegakkan hukum diharapkan adalah menegakkan moralitas itu sendiri.
Hukum masuk ke dalam ranah das sollen (yang seharusnya) sedangkan politik masuk ke ranah das sein (yang senyatanya). Dalam perspektif normatif, maka das sollen menjadi dasar berlakunya das sein, dan nantinya das sein menjadi dasar refleksi untuk das sollen. Sehingga, bukan politiklah yang menjadi dasar pemberlakuan hukum, melainkan hukumlah yang menjadi dasar perilaku politik yang bermartabat dan moralis. Menempatkan politik yang terlalu berpengaruh pada hukum harus dilihat sebagai ‘temuan’ yang harus segera diperbaiki.
Melegitimasi dan meyakini hukum sebagai produk politik akan membawa kita pada bentuk negara ‘kekuasaan’ karena politik sangat identik mengkonfigurasi berbagai elemen dan kekuatan di dalamnya untuk menggapai kekuasaan dan legislator merupakan jabatan politik. Mungkin hal inilah yang dahulu membuat Artidjo Alkostar mengusulkan legislasi berada di bawah BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) karena dianggap lebih memahami seluk beluk hukum Indonesia. Bahkan, program Jokowi-Amin yang digaungkan saat kampanye yaitu akan mengembangkan Legislasi Center (Badan Pusat Legislasi Nasional) namun sampai saat ini pun belum ada wujud dan pembahasan.
Hal-hal diatas bisa menjadi refleksi bersama bagaimana gambaran umum yang terjadi dalam sistem hukum Indonesia, hukum yang hanya didasarkan pada kepentingan-kepentingan politik sangat berpotensi melahirkan produk hukum yang bersifat kriminogen sehingga menjadi bias dengan marwah dan tujuan hukum itu sendiri. Hukum seharusnya dibuat oleh ahli hukum dan moralis yang mendasarkan pada refleksi filosofis, sosiologis dan yuridis sehingga akan tercipta hukum yang berupa kristalisasi dan konkretisasi dari nilai, asas dan norma yang ada.