Hubungi Kami 24/7 - 0857-0066-4005

PENTINGNYA ETIKA DALAM PENGADAAN BARANG DAN JASA

Pada tahun 2021, Pemerintah telah mengalokasikan sekitar 1.000 Triliun rupiah untuk biaya pendanaan pembangunan infrastruktur maupun pengadaan barang/jasa. Begitu menggeliatnya pembangunan infrastruktur serta pengadaan barang/jasa tentunya hal ini memerlukan perhatian dan pengawasan yang sungguh-sungguh dari Pengguna jasa maupun masyarakat dalam rangka menghindari adanya kerugian negara yang diakibatkan karena terjadinya penyelewengan atau korupsi.

Pada hakikatnya Pengadaan barang/jasa dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan pelayanan public, akan tetapi faktanya hal ini seringkali justru yang terjadi adalah sebaliknya yaitu bukanya pelayanan dan fasilitas public semakin baik malah negara tekor karena dananya dikorupsi oleh oknum unsur-unsur pengadaan barang/jasa. Dengan demikian penerapan etika dalam Pengadan barang/jasa merupakan hal mendasar yang harus menjadi acuan, pedoman dan harus dijalankan dalam Pengadaann Barang/Jasa.

Berikut ini adalah beberapa contoh kasus penyimpangan pengadaan barang jasa yang disebabkan pelanggaran etika pengadaan, yaitu:

  1. pengadaan barang jasa melalui Penyedia, namun dalam kenyataannya dilaksanakan sendiri oleh Pejabat Pembuat Komitmen;
  2. Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan (PPHP) tidak melakukan pemeriksaan fisik, namun yang bersangkutan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan Fisik;
  3. Kualitas dan/ atau kuantitas pekerjaan tidak sesuai dengan dokumen kontrak;

Oleh karena itu demi mencegah timbulnya perilaku korup dan menyeleweng, Etika dalam pengadaan barang/jasa menjadi sangat penting untuk dijadikan sebagai dasar pengadaan. Artinya norma/aturan menjadi pedoman pokok/utama/kunci/elementer yang harus/wajib dimiliki pelaku dalam melaksanakan pengadaan. Dengan demikian penerapan etika dasar pengadaan adalah merupakan keharusan. Sesuai dengan teori ekonomi dan pemasaran, barang/jasa harus diproduksi dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen (pembeli). [1]

Di samping itu, terkandung filosofi bahwa Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah upaya untuk mendapatkan barang/jasa yang diinginkan dengan menggunakan pemikiran logis, sistematis, mengikuti norma dan etika yang berlaku berdasarkan metode dan proses pengadaan yang baku.[2]

Dengan demikian, apabila norma-norma umum pengadaan barang/jasa pemerintah dimaknakan sebagai norma atau sendi hukum, maka norma-norma/etika Pengadaan Barang/Jasa merupakan norma hukum atau kaidah hukum yang apabila dilanggar mempunyai sanksi hukum. Adapun manfaat memahami etika dasar pengadaan barang/jasa (Lubis, 2014) adalah : [3]

  1. Mendorong praktek Pengadaan Barang Jasa yang baik,
  2. Menekan kebocoran anggaran (clean governance).

Di dalam Pasal 7 Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/ Jasa diatur tentang etika pengadaan brang/jasa sebagai berikut :

  1. Semua pihak yang terlibat dalam Pengadaan Barang/Jasa mematuhi etika sebagai berikut:
  2. melaksanakan tugas secara tertib, disertai rasa tanggung jawab untuk mencapai sasaran, kelancaran, dan ketepatan tujuan Pengadaan Barang/Jasa;
  3. bekerja secara profesional, mandiri, dan menjaga kerahasiaan informasi yang menurut sifatnya harus dirahasiakan untuk mencegah penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa;
  4. tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung yang berakibat persaingan usaha tidak sehat;
  5. menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan sesuai dengan kesepakatan tertulis pihak yang terkait;
  6. menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan pihak yang terkait, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang berakibat persaingan usaha tidak sehat dalam Pengadaan Barang/Jasa;
  7. menghindari dan mencegah pemborosan dan kebocoran keuangan negara;
  8. menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang dan/atau kolusi; dan
  9. tidak menerima, tidak menawarkan, atau tidak menjanjikan untuk memberi atau menerima hadiah, imbalan, komisi, rabat, dan apa saja dari atau kepada siapapun yang diketahui atau patut diduga berkaitan dengan Pengadaan Barang/Jasa.
  10. Pertentangan kepentingan pihak yang terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, dalam hal:
  11. Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada suatu badan usaha, merangkap sebagai Direksi, Dewan Komisaris, atau personel inti pada badan usaha lain yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama;
  12. konsultan perencana/pengawas dalam Pekerjaan Konstruksi bertindak sebagai pelaksana Pekerjaan Konstruksi direncanakannya/diawasinya, kecuali dalam pelaksanaan pengadaan pekerjaan terintegrasi;
  13. konsultan manajemen konstruksi berperan sebagai konsultan perencana;
  14. pengurus/manajer koperasi merangkap sebagai PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan pada pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa di Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah;
  15. PPK/Pokja Pemilihan/Pejabat Pengadaan baik langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau menjalankan badan usaha Penyedia; dan/atau
  16. beberapa badan usaha yang mengikuti Tender/Seleksi yang sama, dikendalikan baik langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama, dan/atau kepemilikan sahamnya lebih dari 50% (lima puluh persen) dikuasai oleh pemegang saham yang sama.

Semoga bermanfaat dan untuk informasi atau konsultasi lebih lanjut seputar Pengadaan barang/jasa silahkan menghubungi (isdiyantoconsultant@gmail.com atau 0813-2871-4874 an. Puthut Syahfarudin, S.H., CH., C.HT).

Ditulis oleh : Puthut Syahfarudin, S.H., CH., C.HT.

[1] Hamkah, Hadi Purwanto, “Kajian Etika Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah”. Jurnal Simetrik Vo.8, No.2,  Desember 2018.

[2] Ibid, 109.

[3] Ibid, 109.